 |
Ilustrasi: peakpx.com
|
Jagad Buwana - oleh Alam Wangsa Ungkara. Kerajaan Tanjung Barat disebut-sebut dalam kisah Prabu Surawisesa
putra Sri Baduga Maharaja di Kerajaan Pajajaran. Prabu Surawisesa dalam
kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Munding Laya Dikusuma.
Sebagian sejarawan menyamakannya dengan Guru Gantangan. Anda bisa
melihat nama Surawisesa yang identik dengan Guru Gantangan dalam
"Babad Pakuan atau Babad Pajajaran". Permaisuri Prabu Surawisesa
adalah Kinawati yang berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak
di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah
puteri Mental Buana, cicit Mundingkawati yang kesemuanya penguasa di
Tanjung Barat.
Dalam naskah lontar Carita Parahyangan,
hanya menyebut wilayah tersebut sebagai "Tanjung". Dikisahkan wilayah
ini diserang dan akhirnya jatuh ke tangan Arya Burah atau Fatahillah.
Menurut Undang A Darsa berdasarkan naskah lontar Sunda Kuno, di tatar
Pasundan terdapat 73 Kemandalaan. Salah satunya Mandala Kalapa Girang. Di wilayah Jakarta Selatan berdiri Mandala Kalapa Girang
dengan ibukota Pakuan Sumurwangi. Dibagian Utara Jakarta berdiri
Mandala Tanjung Kalapa, yang kelak menjadi wilayh Sunda Kalapa.
Keberadaannya sejah zaman Kerajaan Tarumanagara abad ke-4 hingga abad
ke-7 Masehi. Beberapa Kemandalaan, berubah menjadi Kerajaan. Bisa jadi
Kerajaan Tanjung Barat adalah perubahan dari Kemandalaan Kalapa Girang.
Menurut Ridwan Saidi dalam bukunya "Babad Tanah Betawi" terbitan tahun
2002, nama kerajaan adalah Tanjung Jaya. Sumber yang digunakan Saidi
dari Naskah Wangsakerta Cirebon. Menurutnya, kerajaan ini didirikan oleh
Wangsatunggal, kemudian dilanjutkan oleh Ratu Munding Kawati, Raja
Mental Buana, Raja Banyak Citra, Raja Cakralarang, dan terakhir Ratu
Kiranawati.
Tanjung Barat di zaman sekarang ini adalah Sebuah nama daerah di selatan
Jakarta tepatnya di kecamatan Jagakarsa berseberangan dengan wilayah
Cijantung Jakarta Timur. Menurut naskah Wangsakerta. Lokasi pusat
kerajaan Tanjung Jaya diperkirakan di daerah Muara dekat "kali kawin"
(pertemuan kali Ciliwung dengan kali Cijantung). Kerajaan ini awalnya
bernama Tanjung Kalapa dan berpusat di Tanjung Timur (Condet) tetapi
oleh Wangsatunggal pusat Kerajaan Tanjung Kalapa (taklukan Tarumanagara)
dipindahkan ke Tanjung Barat.
Condet adalah sebuah daerah yang terletak di Kecamatan Kramat Jati, Kota
Jakarta Timur. Sejak beberapa tahun terakhir wilayah Condet terbagi
atas dua kelurahan, yaitu Batuampar dan Balekambang. Nama Condet berasal
dari nama sebuah anak sungai Ciliwung, yaitu Ci Ondet. Ondet, atau
ondeh, atau ondeh – ondeh, adalah nama pohon yang nama ilmiahnya Antidesma diandrum Sprg., termasuk famili Antidesmaeae (Fillet, 1888:128), semacam pohon buni, yang buahnya biasa dimakan.
Data tertulis pertama yang menyinggung – nyinggung Condet adalah catatan
perjalanan Abraham van Riebeeck, waktu masih menjadi Direktur Jenderal
VOC di Batavia (sebelum menjadi Gubernur Jendral). Dalam catatan
tersebut, pada tanggal 24 September 1709 Van Riebeck beserta
rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci Ondet “Over mijin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de spruijt Tsji Ondet..." (De Haan 1911: 320).
Dahulu kala Condet terkenal dengan kebun buah duku dan salak. Namun
seiring dengan semakin banyaknya penduduk, kebun-kebun duku dan
kebun-kebun salak berubah menjadi pemukiman penduduk. Masyarakat yang
mendiami wilayah ini dan umumnya kawasan Sunda Kalapa di zaman
Sunda-Galuh hingga Pajajaran, adalah orang Sunda dengan bahasa wewengkon
yang disebut "Sunda Kamalayon" artinya Sunda ke-melayu-melayuan.
Kemudian hari muncul juga nama betawi. Apakah Orang Sunda Kamalayon
kemudian berubah nama menjadi Betawi? kita belum mengetahuinya.
Menurut Uka Tjandrasasmita dalam Monografinya: “Jakarta Raya dan
sekitarnya dari Jaman Prasejarah hingga Kerajaan Pajajaran (1977) bahwa
penduduk Betawi telah ada pada sekitar tahun 3500-3000 Sebelum Masehi.
Namun berbeda lagi menurut Lance Castles yang pernah meneliti tentang
Penduduk Jakarta, dalam Jurnal Penelitiannya diterbitkan dalam monografi
"Profil etnik Jakarta".
Sementara itu, Saidi menjelaskan terjadi migrasi besar-besaran suku
Melayu dari Kalimantan bagian barat di antara kurun waktu abad ke-8
sampai abad ke-10. Pada periode inilah, mengacu pada teori Prof. Bern
Nothofer dari Frankfurt University, terjadi secara meluas penyebaran bahasa Melayu. Yang pada gilirannya bahasa tersebut menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa Sunda atau Kawi (Saidi, 2002:34).
Bila memang kedua istilah ini merujuk kepada kelompok masyarakat dengan
penutur bahasa yang berbeda, maka terjadi perubahan komposisi penduduk.
Namun penulis percaya bahwa tidak mungkin penduduk Sunda di zaman dahulu
'diusir' dari wilayah ini. Faktanya bahasa Betawi juga bukan murni
berbahasa Melayu, ada banyak serapan bahasa Sunda di dalamnya. Dapat
dimengerti bahwa wilayah pesisir cenderung menjadi tempat bertemunya
berbagai etnis dan bahasa dari masa ke masa.
Pada masa Gubernur Ali Sadikin, Condet juga pernah dijadikan sebagai
kawasan cagar budaya masyarakat Betawi. Namun tidak berlanjut, karena
seiring dengan semakin banyaknya masyarakat pendatang, proporsi
masyarakat Betawi di kawasan ini juga semakin berkurang.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara
dua kerajaan ini, adalagi kerajaan kecil yang terletak di Muara Beres di
Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres ini bertemu
silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa
dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan
sungai ini zaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC
tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut
jalan Banten lama (oude Bantamsche weg).
Mengenai Kerajaan Muara Beres, disebut dalam Naskah Carita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Namun dalam naskah ini, Muara Beres dianggap sama dengan Kerajaan
Tanjung Barat. Putri kerajaan Tanjung Barat disebut Dewi Kania atau Dewi
Kinawati.
Sementara itu, di Sunda Kalapa juga terdapat pemerintahan. Menurut Ali
Sasramijaya, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 Masehi
(1431 Caka), Sunda Kalapa saat itu dipimpin Tumenggung Jayamanggala
sebagai adipati Pakwan di Sunda Kelapa. Selanjutnya yang memimpin Sunda
Kalapa sekira tahun 1513 Masehi adalah Dipati Krandha, yaitu bupati
Sunda Kelapa, atau dipati Kalapa Pasisir. Ia memiliki anak perempuan dan
laki-laki. Anak perempuan bernama Suriyah dan anak laki-laki bernama
Adhipati Surakerta. Adhipati Krandha meninggal, 1434 Caka (1513 Masehi).
Adhipati Surakerta menikahi Déwi Surawati, yaitu adik perempuan Prabhu
Surawisesa. Sementara, Sariyah menikah dengan Kyai Aryya Baroh.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun
pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.
Menurut keterangan warga, keratonnya berada di kampung Muara dekat
pertemuan kali dari cijantung dengan ciliwung (kali kawin). Ada lagi
warga RT 01/03 Kampung Muara yang menuturkan bahwa dekat jembatan rindam
dulunya persisnya dekat pinggir kali di dekat jembatan rindam seberang
gedung ki dekle, dulu ketika ia masih anak-anak sering mandi di
ciliwung. Tepat di bawah jembatan rindam, sebelum lampu merah condet,
bagian lubuk sungai saat itu disebut kedung kuda dan kedung raden persis
berada di bawah jembatan. Menurut kesaksiannya, ada sumur di dalam kali
ciliwung kedung kuda, dan juga banyak makam-makam dalam air yang
bertuliskan tulisan jawa/sunda kuno.
Informasi tentang keberadaan sebuah kerajaan di wilayah tanjung barat
masih menjadi misteri. Untuk pembuktian secara ilmiah, belum banyak
data/bukti yang mengatakan bahwa disana dahulu kala ada sebuah kerajaan.
Perubahan bentang alam -topografi di wilayah Jakarta, telah terjadi
beratus-ratus tahun. Bahkan sebelum kota Sunda Kalapa itu jatuh ke
tangan Fatahillah dari Demak. Jatuhnya Sunda Kalapa diikuti dengan
pengubahan nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Perubahan bentang alam
Jakarta, juga terjadi sebelum dan sesudah datangnya Kolonialisme Belanda
yang mengubah Jayakata menjadi Batavia.
Selain itu, ketidakpedulian bisa jadi faktor utama terbengkalainya peninggalan masa lampau yang dianggap tidak lagi penting.
Barangkali, di zaman modern pasca kemerdekaan RI, pengaruh cepatnya
pembangunan fisik di Jakarta serta daerah penyangga di sekitarnya,
membuat artefak-artefak penting terkubur di bawah bangunan kota
Megapolitan tersebut.
Referensi
- "Wawacan Mundinglaya Dikusumah" Ensiklopedi Sastra Sunda. kemendikbud RI pdf.
- De Haan, F. 1935. "Oud Batavia". Rev. ed. Vol. I. Bandung: A.C. Mix co.
- Darsa, Dr. Drs. Undang Ahmad M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu
Bermanfaat Tanpa Local Genius” - Universitas Padjadjaran". Laman
Universitas Padjadjaran. Diakses 2018-03-21
- Goozen, Hans. 2003. "Population Census in Batavia 1873-1892". Leiden: Intercontinenta. No. 25.
- Haris, Tawalinuddin. 2007. "Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota
Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII). Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
- Kanumoyoso, Bondan. 2007. “Pengantar: Perubahan Indentitas Penduduk
Jakarta” dalam Castles, Lance. 2007. Profil Etnik Jakarta. Penerjemah
Gatot Triwira. Jakarta: Masup Jakarta.
- Castles, Lance. 2007. "Profil Etnik Jakarta". Penerjemah Gatot Triwira. Jakarta: Masup
- Raffles, T.S. 1830. "History of Java". Edisi Kedua. Volume II. London: Oxford University Press.
- Remco Raben. 2007. “Seputar Batavia: Etnisitas dan Otoritas di
Ommelanden, 1650-1800” dalam Jakarta-Batavia: Esai Sosio-kultural.
Penyunting Kees Grijns dan Peter J.M. Nas; Penerjemah Gita Widya
Laksmini dan Noor Cholis. Edisi Pertama. Jakarta: Banana,
KITLV-Jakarta.
- Saidi, Ridwan. 2002. "Babad Tanah Betawi". Jakarta: Gria Media.
- Tjandrasasmita, Uka. 1977. “Jakarta Raya dan sekitarnya dari Jaman Prasejarah hingga Kerajaan Pajajaran". Monografi.
Baca Juga