Ilustrasi Kian Santang mempelajari Islam
Jagad Buwana - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Raden Kian Santang adalah salah satu nama dari sosok yang melegenda dan
lekat di ingatan urang Sunda. Namanya dikenal memalui kisah yang
dituturukan dari generasi ke generasi, bahkan pernah menjadi tayangan
sinetron pavorit di salah satu televisi swasta nasional.
Tak sulit bagi anda untuk menemukan sejarah perjalanan beliau di dunia
maya. Sangat banyak artikel yang membahas topik tersebut dengan berbagai
versi dan kajian masing masing. Semakin jauh anda menelusuri, akan
semakin menemukan perbedaan pandangan antara satu sumber dengan sumber
lainnya, termasuk tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan tokoh
“Kian Santang” tersebut. Dari sekian banyak tulisan dan sumber mengenai
tokoh ini.
Menlusuri sosok Kian Santang memerlukan juga identifikasi sosok Prabu
Siliwangi saat itu. Termasuk 'membersihkan' kisah yang carut marut
mengenai akhir kejayaan Kerajaan Pajajaran yang ditandai moksanya atau
'ngahiyangnya' Prabu Siliwangi. Sosok Kian Santang sering digambarkan
mengejar ayahandanya, Prabu Siliwangi untuk menganut ajaran Islam.
Karena sang prabu menolak, maka diperangi.
Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang
–di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran
lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin
rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud
menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda mengenai moksa Prabu
Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University
of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan
mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial
dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat
dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta
orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.
Menurut Sutaarga, dalam berbagai naskah yang kebanyakan ditulis abad
ke-19, nama Prabu Siliwangi dimuat untuk memenuhi kebutuhan para bupati
yang berkuasa di berbagai kabupaten di Jawa Barat, khususnya Priangan.
Mereka ingin mengaitkan hubungan trahnya dengan Prabu Siliwangi lewat
babad-babad keluarga yang memuat pohon kekerabatan.
Siapakah Sebenarnya Raden Kian Santang?
Semua penulis, penelusur dan penutur sejarah sependapat bahwa Kian Santang adalah seorang Pangeran atau Raden atau Bangsawan, putra dari Prabu Siliwangi, dari Kerajaan Pajajaran. Lebih dari itu, ada banyak perbedaan pendapat. Sama seperti halnya dengan ayahandanya sendiri Prabu Siliwangi yang kisah hidupnya menjadi perbincangan banyak orang dengan berbagai versi dan pendapat masing masing.Kisah umum yang dikenal di masyarakat, bahwa Kian Santang adalah putra bungsu Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang. Di kisahkan, bahwa Prabu Siliwangi atau Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja memilki tiga Istri. Istri pertamanya adalah Ambet Kasih (putri dari Ki Gde Sindang Kasih), Lalu Subang Larang putri dari Ki Gde Ing Tapa, penguasa Singapura (Sing Apura - Cirebon saat ini) dan Kentring Manik Mayang Sunda putri uwaknya Prabhu Susuk Tunggal - Raja Sunda. Dari Subang Larang lahir Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang, Putri Lara Santang dan Kian Santang.
Sementara itu, padmawati (permaisuri) Kentring Manik Mayang Sunda adalah putri dari Prabu Susuktunggal yang tak lain adalah putri uwaknya sendiri yang menjadi Raja Kerajaan Sunda (Pakuan - Bogor). Pernikahan Kentring Manik Mayang Sunda dengan Jayadewata sekaligus menjadikan Jayadewata (Prabu Siliwangi) sebagai pewaris Kerajaan Sunda dari uwaknya itu. Dengan demikian, pernikahan ini dan membuka jalan bagi penyatuan kembali kedua kerajaan (Galuh dan Kerajaan Sunda) yang terpisah kembali sejak di bagi 2 antara ayahanda Jayadewata yaitu Prabu Dewa Niskala dan uwaknya yaitu Prabu Susuk Tunggal. Maka 2 kerajaan itu melebur menjadi satu yakni kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan (Bogor sekarang), sekaligus menjadikan Prabu Siliwangi sebagai Maharaja. Lalu siapa yang menjadi Permaisurinya? Jika melihat pengganti Jayadewata atau Prabu Siliwangi (III) adalah Prabu Surawisesa, putra dari Kentring Manik Mayang Sunda, maka yang menjadi permaisuri atau padmawati atau garwa padmi bisa dipastikan adalah Kentring Manik Mayang Sunda. Sebutan untuk selir di Jawa disebut Garwa Ampeyan dan di Sunda disebut garwa Ampi/Ampil.
Apakah Kian Santang (pernah menjadi) Raja Pajajaran?
Catatan sejarah menyebutkan bahwa penerus tahta Pajajaran sepeninggal
Prabu Siliwangi (Jayadewata/Sri Baduga Mahajaraja) adalah Surawisesa
putra Prabu Siliwangi (dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang
Sunda). Dapat dipastikan bahwa dalam hirarki kerajaan Pajajaran yang
berhak untuk menjadi putra Mahkota adalah seorang putra yang lahir dari
Kentring Manik Mayang Sunda selaku Pewaris kerajaan Sunda (Pakuan), dan
dengan sendirinya kita dapat fahami bahwa yang menjadi permaisuri Prabu
Siliwangi adalah Kentring Manik Mayang Sunda.
Permaisuri memiliki hak khusus sehingga anak laki laki yang
dilahirkannya berhak mutlak sebagai pewaris tahta kerajaan alias menjadi
putra mahkota. Seperti yang kita ketahui, bahwa para raja (biasanya)
memiliki lebih dari satu orang istri, sehingga diperlukan ketetapan
menunjuk atau memilih atau menentukan salah satunya sebagai permaisuri
dengan berbagai pertimbangan, untuk menghindari terjadinya
ketidakpastian tentang pewaris tahta kerajaan yang berujung kepada
perebutan tahta diantara keturunannya.
Sementara itu, Kian Santang adalah putra Prabu Siliwangi dari Nyai
Subang Larang. Dengan keterangan tersebut di atas, dapat dipastikan
bahwa Kian Santang memang putra Prabu Siliwangi akan tetapi bukan
pewaris tahta kerajaan Pajajaran. Dan sejarah pun mencatat, bahwa Kian
Santang tidak masuk dalam jajaran tokoh yang pernah menjadi raja
Pajajaran.
Penokohan atau anggapan atau asumsi bahwa Kian Santang pernah menjadi
Raja Pajajaran lalu mandeg pandito ratu atau sengaja meninggalkan tahta
untuk tujuan lain termasuk untuk uzlah atau dakwah dan sebagainya bisa
jadi sebagai akibat bias sejarah lisan antara tokoh Kian Santang dan
Borosngora. Coba telusuri kisah Kian Santang dan Prabu Borosngora yang
sama-sama bertemu dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian ada juga
beberapa orang menyebutkan bahwa Sayidina Ali bukan putra Abu Thalib
tetapi Sayidina Ali yang lain.
Tahta kerajaan Sunda-Galuh - sebelum disebut Pajajaran, memang pernah
sementara waktu dipegang oleh Pangeran Mangkubumi Suradipati atau Prabu
Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru di Jampang, sepeninggal
Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di perang Bubad. Beliau memegang
tampuk pimpinan kerajaan dikarenakan Pangeran Niskala Wastu Kencana
selaku putra mahkota, ketika itu masih kanak kanak. Tahta Kerajaan
diserahkan secara sukarela oleh Prabu Borosngora kepada Pangeran Niskala
Wastu Kencana ketika sang pangeran telah mencapai usia dewasa.
Apakah Kian Santang adalah Penyebar Islam?
Pendapat ini menjadi arus utama para penutur sejarah Pajajaran.
Disebut-sebut bahwa Kian Santang adalah seorang penyebar Islam. Hanya
saja memang sejarah perjalanan Kian Santang menemukan Islam, terdapat
kesimpangsiuran atau perbedaan alur cerita antara cerita tutur yang satu
dengan lainnya. Arus utama hikayat hidupnya disebutkan bahwa Kian
Santang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada yang mampu
menandinginya, sampai sampai beliau sangat ingin melihat darahnya
sendiri (tertumpah karena berhasil dilukai oleh lawan tarungnya).
Konon, dalam kisah babad diceritakan se pulau Jawa bahkan Nusantara
tidak ada orang sakti manapun yang mampu menandingi kesaktian Kian
Santang. Benarkah demikian? Mengapa tidak ada kisah dari wilayah lain
atau kerajaan lain di pulau Jawa apalagi dari luar Jawa yang mengisahkan
sosok Kian Santang pernah bertarung dengan jagoan setempat? Kemudian
seseorang datang memberikan informasi bahwa yang mampu mengalahkan
beliau adalah orang Arab yang bernama Sayidina Ali.
Singkat cerita beliau ahirnya berangkat ke tanah arab, dipelabuhan di
tanah arab beliau bertemu dengan orang tua bertongkat yang siap
mempertemukannya dengan Sayidina Ali. Kemudian sang pangeran di minta
mencabut tongkat si orang tua yang ditancapkan di pasir pantai. Kian
Santang gagal mencabut tongkat itu meski sudah mengerahkan seluruh
kemampuannya. sejurus kemudian Kian Santang menyerah, si orang tua
dengan mudah nya mencabut tongkat tersebut hanya dengan mengucapkan
kalimat Basmalah. dan Itulah yang menjadi awal ber-Islam nya Kian
Santang. Detil ceritanya memiliki beragam versi hanya saja inti-nya
adalah seperti demikian. Sebenarnya ada banyak pertanyaan dibenak kita
di zaman modern ini. Bagaimana Kian Santang berkomunikasi dengan sosok
kakek tua yang ternyata Sayidina Ali itu?
Kisah pertemuan dengan Sayidina Ali tersebut, memiliki kesamaan alur
cerita dengan perjalanan Prabu Borosngora, meskipun antara Kian Santang
dan Prabu Borosngora Terpisah 4 generasi (Perhatikan silsilah raja
Pajajaran). Bila saja yang dimaksud sebagai Sayidina Ali tersebut adalah
Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang juga saudara sepupu sekaligus menantu
Nabi Muhammad s.a.w, maka menjadi lebih rumit lagi, karena baik Kian
Santang maupun Prabu Borosngora yang hidup empat generasi lebih dulu
dari Kian Santang, sama sama tidak hidup di zaman yang sama dengan
Sayidina Ali.
Khalifah Ali Bin Abi Thalib telah wafat sekitar tahun 661 Masehi
(tepatnya tanggal 17 atau 19 Romadhon tahun ke 40 hijriah). Sedangkan
Prabu Borosngora sendiri baru memegang (sementara) tahta Pajajaran
menggantikan Kakaknya yang gugur di medan perang Bubat pada tahun 1357
masehi. lalu apa yang salah dengan kisah sejarah tutur tersebut? Kisah
tutur dari Ciamis menyebutkan bahwa Prabu Borosngora bahkan menerima
oleh-oleh berupa sebilah pedang dari Sayidina Ali dan pedang tersebut
masih ada hingga kini. Demikian juga dengan Kian Santang.
Bila didasarkan pada urutan waktu kejadian, Pastinya Sayidina Ali yang
dimaksudkan bukanlah Sayudina Ali Bin Abi Thalib Khalifah ke-4 dari
Khulafaurrasyidin. Baik dari Masa Borosngora sampai masanya Kian
Santang, Pusat ke khalifahan Islam bahkan sudah berpindah ke Khalifah
Usmaniyah (Otoman) di Turki bukan lagi di Jazirah Arab. Namun demikian
hal yang demikian itu bukanlah hal yang tidak mungkin menurut para
praktisi kebathinan.
Menelusur lebih jauh ke belakang, telah disinggung sebelumnya bahwa Kian
Santang adalah putra bungsu Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama
Subang Larang anak dari Ki Gde Ing Tapa, Syah Bandar Singapura (kini
Cirebon).
Dalam sejarah berdirinya Masjid Agung Karawang, disebutkan bahwa Subang
Larang adalah salah satu murid (santriwati) dari Syech Hasanuddin alias
Syech Quro di pondok Quro Karawang. Pernikahan antara Prabu Siliwangi
dengan Subang Larang terjadi setelah Sang Prabu memenuhi persyaratan
yang diminta oleh Subang Larang, salah satunya adalah beliau (Prabu
Siliwangi) harus ber-Islam.
Apakah Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana?
Kian Santang sering disebut Prabu Kiansantang. Benarkah ia pernah menjadi seorang raja? Berdasarkan keterangan di atas, bahwa penerus Maha Prabu Jayadewata/Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) di Pajajaran adalah Prabu Surawisesa (Siliwangi IV). Dimanakah Kian Santang menjadi raja?Telah menjadi kenentuan yang umum di zaman Kerajaan Sunda-Galuh, bahwa anak-anak raja akan ditempatkan memimpin wilayah-wilayah dalam lingkup Kerajaan induk. Para pemimpin kerajaan bawahan itu kerap disebut raja atau prabu. Sementara untuk kerajaan induk disebut Maharaja atau Mahaprabu. Jadi, kita bisa mengasumsikan bahwa Kian Santang menjadi raja wilayah sebagai bawahan Pajajaran.
Sejarah Cirebon nyaris tak menyinggung dan mengisahkan Kian Santang. Meski dua tokoh utama dalam sejarah berdirinya kesultanan Cirebon adalah Anak anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang. Mereka adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rara Santang. Bisa jadi hal ini yang kemudian memunculkan dugaan atau teori yang menganggap bahwa Kian Santang sesungguhnya adalah Pangeran Cakrabuana sendiri.
Ayah dan Bunda biasanya hanya akan mengizinkan anak anaknya meninggalkan rumah untuk melanjutkan pembelajaran setelah mencapai usia dewasa. Perjalanan Pangeran Cakrabuana sampai ahirnya tinggal bersama kakeknya di Cirebon pun pada awalnya dijalani sendirian sampai kemudian adik perempuannya, Rara Santang menyusulnya. Cukup masuk akal bila saat itu Kian Santang yang masih belum mencapai usia dewasa tidak pergi bersama dua kakaknya, tapi masih tinggal di keraton Pajajaran bersama orang tuanya.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Raden Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana. Bila demikian, maka yang memulai berdirinya kesultanan Cirebon adalah Kian Santang, termasuk yang mendirikan kraton Pakungwati, lalu menikahkan putrinya dengan Syarif Hidatullah. Dan tentu saja berarti Kian Santang adalah juga mertua Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
Pernyataan itu sama sekali bertolak belakang dengan sejarah kesultanan cirebon. Cikal bakal kesultanan Cirebon dimulai oleh Pangeran Cakrabuana yang ditunjuk oleh ayahnya sendiri (Prabu Siliwangi) untuk menjadi penguasa disana sebagai bagian dari Pajajaran. Bermodalkan harta dari Kakeknya dari pihak Ibu beliau membangun kraton Pakungwati yang namanya diambil dari nama putrinya.
Pangeran Cakrabuana ke tanah arab bersama adik perempuannya (Rara Santang) tinggal di kediaman kerabat dari kakeknya. Melaksanakan ibadah haji dan menetap cukup lama disana untuk belajar Islam, baru kemudian pulang ke tanah Jawa tanpa ditemani oleh Rara Santang yang sudah menikah di tanah Arab.
Intinya adalah bahwa Pangeran Cakrabuana berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun Islam yang lima, maknanya beliau sudah muslim sebelum berangkat ke Arab. Beliau sudah “nyantri” di Cirebon memahami ajaran Islam cukup lama sebelum kemudian berangkat ke tanah suci. Tentang sejarah Islam di Cirebon Anda bisa menelusur lebih jauh tentang Syech Datuk Kahfi atau varian nama lainnya.
Bandingkan dengan sejarah Kian Santang yang mainstream menyebutkan bahwa beliau berangkat ke tanah Arab untuk menemukan lawan tanding yang mampu mengalahkannya, yakni orang yang bernama “Sayidina Ali”. Sampai kemudian memeluk agama Islam, Maknanya bahwa, berdasarkan kisah tutur tersebut, Kian Santang berangkat ke tanah Arab sebelum menjadi muslim. disebutkan bahwa beliau justru mulai memeluk Islam di tanah Arab setelah kalah telak kesaktiannya dengan orang yang dikenal dengan nama “Sayidina Ali”.
Kian Santang kembali ke tanah air berusaha meng-Islamkan ayahandanya namun gagal dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah cukup menimba ilmu di tanah suci beliau kembali ke Pajajaran, melanjutkan upaya meng-islamkan ayahandanya.
Sedangkan Pangeran Cakrabuana kembali ke tanah Jawa dari tanah arab, melanjutkan pengembangan dakwah, membuka wilayah baru, membangun kraton, menjalankan roda pemerintahan di wilayah yang kini disebut Cirebon, sebagai bagian dari kerajaan Pajajaran. Cirebon merupakan salah satu gerbang laut utama bagi Kerajaan Pajajaran selain Banten dan Sunda Kelapa. Dari alur cerita tutur yang beredar pun sangat jelas bahwa Kian Santang dan Pangeran Cakrabuana adalah dua sosok yang berbeda.
Jika Cakrabuana dan Kian Santang adalah sosok yang sama, maka jelas sekali bahwa kian Santang pernah menjadi raja. Oleh sebab itu penyebutan "Prabu" kepada Kian Santang menjadi masuk akal. Namun bila memang keduanya adalah sosok berbeda, lalu Kian Santang menjadi raja di kerajaan mana?
Referensi
- “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, oleh Robert Wessing. Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.
- "Apakah Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana ?" oleh Hendra Gunawan. hendrajailani.blogspot.com Diakses 22 Mei 2020.
- "Siapakah Raden Kian Santang?" oleh Hendra Gunawan. hendrajailani.blogspot.com Diakses 22 Mei 2020.
- "Tjerita Prabu Anggalarang, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, dan Wawatjan Tjarios Prabu Siliwangi."
- "Mencari Prabu Siliwangi: Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas." Oleh Yudi Anugrah Nugroho. Historia.id Diakses 22 Mei 2020.
- "Garwa Ampil" lektur.id Diakses 22 Mei 2020.