Header Ads Widget

Responsive Advertisement

'Setengah Kudeta' Ketika Moncong Meriam Mengarah ke Istana Merdeka | Peristiwa 17 Oktober 1952

Jagadbuwana - Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (saat itu dijabat A.H. Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Bahkan Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan dalih melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.

Pemicunya adalah pemilu yang tertunda-tunda yang dianggap hanyalah taktik DPRS (yang didukung Bung Karno) untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik intern militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan memburuk. Pada 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Bung Karno yang sering keluar-masuk Istana, mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS, menyatakan tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat (dipimpin Nasution). Bambang Supeno-lah yang melobi Bung Karno sampai Bambang Sugeng akhirnya mengganti Nasution sebagai KSAD. Nasution dipecat. Tujuh perwira daerah ada yang ditahan dan digeser kedudukannya.

Semua ini terkait bagaimana hubungan sipil dan militer di Indonesia. TNI (Tentara Nasional Indonesia) telah melakukan tugasnya dalam mengukuhkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun 1945-1949 dengan ketaatanya terhadap supremasi pemerintahan sipil. Kemudian pada tahun 1950 di sahkan UUDS 1950 yang menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengutamakan supremasi sipil di atas militer. Pro kontra terjadi akibat kondisi tersebut, banyak dari kalangan militer yang tidak menerima begitu saja terhadap supremasi sipil. Mengingat pada masa revolusi, TNI begitu masif melawan serangan militer Belanda melalui strategi perang gerilya ditengah menyerahnya pimpinan sipil terhadap Belanda. Kemudian Kondisi tahun 1950an pasca revolusi digambarkan oleh Nasution sebagai bagian dari pencarian identitas, baik itu identitas mencari sistem kenegaraan yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia maupun mencari sistem ketentaraan yang sesuai dengan kepribadian dan kondisi masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan (Nasution, 2013, hlm. 12-14). 

Awal permasalahan

Masalah di bidang pertahanan dan keamanan Indonesia pada masa itu masih menjadi pusat perhatian pemerintah. Hal tersebut ditempuh dengan cara menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara serta meningkatkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketentraman (Simanjuntak, 2013, hlm. 128). Persoalan yang harus ditangani oleh pemerintah adalah menangani masalah angkatan perang yang pada waktu itu masih sangat heterogen. Pemerintah terus mencoba untuk mencari penyelesaian dari permasalahan tersebut, dengan menjadikan tentara memiliki semangat homogen seperti halnya yang terdapat di negara modern.

Dapat dimaklumi pada masa tersebut, sistem administrasi ketentaraan belum rapi bahkan hingga sekarang. Tingkatan – tingkatan diantara pemimpin militer juga belum jelas kebanyakan elite tentara memiliki pangkat yang sama. Ada juga perbedaan antara tentara KNIL dan eks PETA yang tidak sepadan, adanya kombinasi – kombinasi mobilisasi massa untuk kepentingan politik serta ancaman verbal dan tekanan senjata sehingga terlihat tindakan sipil (civil action) untuk menggulingkan kekuasaan yang pada saat itu berdiri walau hanya di kulit. Tujuannya adalah melakukan kudeta merangkak disamping adanya perbedaan pada organisasi kemiliteran tersebut.

Tentara yang lemah akan merepotkan negara dan Tentara yang terlalu kuat akan menyusahkan masyarakat, dimana tujuan negara adalah menghindari terjadinya perpecahan, walaupun tidak
menginginkan seperti pada masa Orde Baru dimana Tentara mengerjakan tugas diluar tugas pokoknya sehingga terkesan masyarakat seolah tercekam. Hal ini kemudian menjadikan perbedaan pandangan tentara Eks PETA dan KNIL pada saat itu. Dibalik semua itu ada hal yang aneh, siapa dalang semua ini antara pihak asing-sipil-militer, namun adanya mutasi menyebabkan para pemimpin merasa asing dengan daerah lain dan merasa tidak cocok walaupun peluru atau bom tidak memakan korban namun
pergolakan di daerah – daerah barulah memakan korban pada masa berikutnya.

Akibat adanya krisis ekonomi maka mengharuskan mengurangi pengeluaran negara disetiap bidang pemerintahan. Adanya pengurangan anggaran tersebut membuat kementerian pertahanan ingin melakukan demolisasi besar-besaran dengan mengadakan standar kualifikasi terhadap TNI. Karenanya, mau tidak mau pimpinan Angkatan Perang harus menetapkan persyaratan-persyaratan seperti menyangkut usia, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya bagi anggota-anggota Angkatan Perang (Soebagijo, dkk, 1979, hlm. 130-131).

Pada akhirnya permasalahan mengenai angkatan perang ini berbuntut panjang ditandai dengan mulai diperdebatkannya dalam parlemen antara kubu yang pro dan kubu yang kontra terhadap kebijakan pemerintah tersebut (Simanjuntak, 2013, hlm. 130). Perdebatan tersebut berlangsung berbulan-bulan dan ketegangan kemudian meningkat setelah keluarnya mosi Zainul Baharudin (tidak berpartai) yang tidak percaya terhadap Menteri Pertahanan dan Angakatan Perang atas kebijakan yang dikeluarkannya (Soebagijo, dkk. 1979, hlm. 131).

Namun menurut Nasution (2013, hlm. 18) awal ketegangan dan perdebatan mengenai permasalahan militer diawali dari surat Kol. Bambang Supeno, yaitu bahwa:

 “Banyaklah terus ketegangan-ketegangan, dan “meletus” keluar dengan peristiwa “surat Kol. Bambang Supeno” terkenal, yang kemudian dimuat di koran-koran tertentu. Surat itu menyalahkan beleid pimpinan. Kementerian Pertahanan dan AD dan mendesak peninjauan kembali. Kemudian isi surat itu menjadi acara di DPRS, berbulan-bulan lamanya sampai melontarkan mosi Manai Sofyan terkenal, yang oleh rapat panglima dianggap sebagai membenarkan isi surat kolonel tersebut dan yang dirasakan sebagai “intervensi” dalam soal intern AD”.

Senada dengan pendapat Nasution, Chompton (1992, hlm. 5) mengemukakan bahwa perdebatan di dalam parlemen menyangkut hubungan sipil dan militer pada masa Kabinet Wilopo yaitu diawali dengan surat Kol. Bambang Supeno yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasaanya kepada pimpinan tentara. Adapun penyebab Kol. Bambang Supeno bertindak demikian, antara lain bahwa Tuduhan-tuduhan ini harus dilihat dengan mengingat kritik-kritik yang telah dilontarkan Bambang Supeno beserta sekolah perwira Tjandradimuka yang dipimpinnya. Dikatakan bahwa sekolah itu yang berlaku adalah semangat militer gaya Jepang, yang menekankan ideologis dan politis tentara. Tatkala semangat semacam itu dikritik oleh para tokoh militer profesional dan non-politisi, Bambang Supeno mengadukan persoalan ini kepada Presiden Soekarno.Kemudian Bambang Supeno ditegur dalam sebuah rapat perwira tinggi pada tanggal 2 Juli Karena dianggap melakukan sesuatu diluar kewenangannya. 

Kemudian pada tanggal 16 Juli, Bambang Supeno dicopot dari jabatannya karena menentang atasannya dan di setujui oleh Hamengkubuwono IX pada tanggal 29 Juli. Seminggu setalah pencopotan Kol. Bambang Supeno, persoalan tersebut ternyata masuk ke dalam rapat kabinet. Desas-desus menyatakan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX ingin mengemban seluruh tanggung jawab dari tindakan kementeriannya, tetapi ia tidak akan menerima campur tangan Presiden. Kemudian surat Bambang Supeno ditanggapi secara langsung oleh parlemen. Mula-mula di bahas dalam seksi pertahanan, lalu dibawa ke sidang pleno pada tanggal 28, 29, dan 30 Juli. Setelah reses bulan Agustus, persoalan tersebut dibuka kembali pada tanggal 23 September dalam sidang terbuka (Compton, 1992, hlm. 6-7).

Perdebatan yang terjadi di parlemen selama berbulan-bulan mengenai masalah pro dan kontra terhadap kebijakan Menteri Pertahanan dan pimpinan Angkatan Darat melalui kaum politisi menimbulkan reaksi dari pihak Angkatan Darat (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 312). 

Kemudian hasil dari keputusan mosi tersebut hanya dapat dilihat dari hasil perdebatan di parlemen, sebagaimana yang dimuat dalam Surat Kabar Haluan Umum Nasional tanggal 17 Oktober 1952:
1 bahwa:

 “Usul mosi Manai Sophian cs dalam sidang parlemen pleno terbuka hari ini diterima dengan suara 91 lawan 54... setelah sidang parlemen selesai, Sidik Ketua Umum PNI mengeluh persoalan2 jang terachir disekitar mosi itu, tidak mau banjak menerangkan sesuatunja, hanja diterangkan bahwa dengan menjerahkan kemungkinan percobaan Pimpinan dan organisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang kepada panitia adalah bagi PNI usaha jang sungguh2 untuk menghindari krisis kabinet”.

Hal tersebut menimbulkan reaksi dari pihak militer, bahwasanya perdebatan panjang di parlemen merupakan bentuk intervensi yang nyata terhadap persoalan internal militer. Pemimpin militer kemudian melakukan beberapa rapat pimpinan membahas tentang diterimanya mosi Manai Sophian dengan memutuskan akan membuat pernyataan yang akan disampaikan kepada Presiden dan kepada umum (Nasution, 2013, hlm. 35-36). Hasil rapat-rapat pimpinan Angkatan Darat dapat terlihat nyata dari apa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952, kemudian Compton (1992, hlm. 11) mendeskripsikan jalannya peristiwa 17 Oktober sebagai berikut:

“Pagi sekali pada tanggal 17 Oktober, kerumunan hampir 10.000 orang berdemosntrasi di dalam dan di sekitar gedung parlemen di Jakarta. Mereka merusak parabot dan mengacungkan poster-poster yang menuntut pembubaran parlemen. Kerumunan lainnya berdesakan di sekitar dekat gedung kabinet. Para demonstran akhirnya sampai di Istana Presiden”.

Sementara pasukan tentara bersiap di seputar massa, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato cemerlang, disampaikan dengan gayanya yang tenang dan membakar. Ia menyatakan bahwa ia tidak dapat membubarkan Parlemen, dan bahwa ia tidak punya niat untuk menjadi diktator. Ia mengingatkan massa bahwa mereka hanyalah sebuah segmen kecil dari penduduk di sebuah kota di Indonesia; ia harus berkeliling negeri dan mempertimbangkan pendapat rakyat di kawasan-kawasan lain, begitu ia mengakhiri pidatonya, massa bubar.

Semula massa mendatangi gedung parlemen, kemudian mereka menuju Istana Presiden untuk mengajukan tuntutan pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta tuntutan segera dilaksanakan pemilihan umum. Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Aksi demontrasi dengan slogan “bubarkan parlemen” tersebut merupakan bentuk kekecewaan terhadap parlemen yang dianggap terlalu ikut campur urusan internal militer, terlebih kurang kepercayaan militer terhadap parlemen juga disebabkan oleh keterwakilan orang-orang yang berada di parlemen yang bukan hasil dari pemilihan umum. Hal tersebut merupakan kritikan yang telah lama disuarakan mengenai pentingnya untuk segera melangsungkan pemilihan umum. Terlebih mereka yang berada di parlemen bukan orang-orang yang telah berjuang melepaskan belenggu dari keinginan Belanda untuk mengusai kembali Indonesia dengan jalan Revolusi Fisik. Pihak militer merasa bahwa tidak etis parlemen dengan orang-orang tersebut mengurusi urusan militer yang memiliki peran serta kontribusi yang besar dalam perang kemerdekaan. Sehingga slogan anti-parlemen terus disampaikan sebagai bentuk penyampaian aspirasi yang mereka anggap sebagai suatu keharusan dalam mengingatkan pemerintahan sipil dalam mengambil keputusan politis.

Peristiwa 17 Oktober 1952 kemudian banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak diantaranya. Menurut Wilson (2015, hlm. 157) mengatakan bahwa “Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan zaman itu. Tindakan tersebut tidak dapat dianggap bijaksana”. Kemudian Soekarno menganggap peristiwa 17 Oktober 1952 ini sebagai “percobaan setengah kudeta” sebuah istilah yang disampaikan sendiri oleh Nasution kepada Soekarno. Menurut Jenderal Nasution bahwa upaya kudeta tersebut bukan ditujukan kepada Bung Karno, melainkan kepada sistem pemerintahan. Mereka menuntut Soekarno membubarkan parlemen, namun Soekarno menolak keinginan tersebut (Wilson, 2015, hlm. 158).

Tanggapan lain datang dari Feith (dalam Lubis, 2012, hlm. 73) bahwa meskipun terdapat bukti-bukti yang saling bertentangan, dapat dianggap sebagai sudah pasti bahwa Nasution sejak beberapa waktu telah menyusun rencana-rencana bagi suatu kudeta miiter yang akan dilaksanakan dengan jalan mengarahkan Divisi Siliwangi. Rencananya adalah untuk meletakkan kekuasaan yang lebih besar di tangan Presiden, lalu dalam waktu dekat yang bersamaan membuatnya tergantung kepada dukungan tentara.

Kemudian Nasution (2013, hlm. 10) menjelaskan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi sebagai aksi untuk menyampaikan aspirasi mereka yaitu bahwa:

“Dasar penilaian demikian ialah, bahwa peristiwa tersebut menuntut pembuaran DPRS, hasil kompromis antara RI dan “Negara-negara van Mook”. Dengan proses DPRS yang kami rasakan sebagai inervensi terhadap integritas TNI, maka KSAD bersama 7 Panglima Terr dengan tertulis mendesak pembubaran DPRS dan kembalinya Soekarno-Hatta memimpin kita, mendesak dengan tekanan maksimal”.

Lantas, siapa dalang dibalik peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam buku Seabad Kontroversi menyebutkan A.H. Nasution, T.B. Simatupang, Soetoko, S. Parman, dan Moestopo yang menurut penulis buku tersebut merujuk pada salah satu pihak asing yang menunggangi situasi politik sehingga menimbulkan crash (tubrukan) dalam sistem pemerintahan ditambah peranan sipil yang pada saat itu tidak terlalu kuat ditambah revolusi yang naik.

Nasution (2013, hlm. 25-26) kemudian tidak merasa heran dengan apa yang menjadi pemberitaan mengenai peristiwa 17 Oktober 1952 yang dianggap sebagai percoban kudeta, seperti halnya yang ia katakan bahwa tuntutan politik dengan kesimpulan-kesimpulan yang tersebut di atas tadi, maka tak mengherankan, jika gerakan-gerakan pada tangga 17 Oktober’52 itu diartikan orang sebagai petunjuk seakan-akan telah terjadi suatu percobaan yang sifanya sama dengan suatu “coup d’etat”.

Untuk meredakan situasi Perdana Menteri Wilopo kemudian memanggil para Panglima Divisi dari pimpinan Angkatan Darat, Wilopo menegaskan bahwa parlemen tidak dapat dibubarkan begitu saja. Akan tetapi Perdana Menteri meminta mereka mempercayakan kepada pemerintah mengenai pembentukan DPR secepatnya. Kemudian mereka menghargai permintaan tersebut (Nasution, 2013, hlm. 37-38). Senada dengan yang dikatakan Nasution, Perdana Menteri Wilopo kemudian menyampaikan pandangannya terkait peristiwa 17 Oktober 1952, Sebagaimana yang dimuat dalam Surat Kabar Merdeka tanggal 18 Oktober 1952, hlm. 1 yaitu bahwa:

“...Perdana Menteri Wilopo menerangkan bahwa dalam pertemuan itu antara lain telah dibitjarakan bagaimana mengatasi keadaan sekarang. Menurut Wilopo djalan untuk mengatasi keadaan telah diketemukan....Perdana Menteri Wilopo selandjutnja menerangkan bahwa pemilihan umum akan lebih dipertjepat lagi”.

Kemudian demontrasi terjadi di kota lain yaitu di Semarang dengan menuntut dibubarkannya parlemen. Seperti halnya yang dimuat dalam Surat Kabar Merdeka tanggal 20 Oktober 1952, hlm. 2 yaitu bahwa:

“Setelah pada hari Djumat di Djakarta terdjadi demontrasi jang menghendaki pembubaran parlemen, maka djuga di Semarang pada hari Senin pagi mengalami demontrasi jang sematjam itu. K.I 3000 orang dengan setjara teratur dab tenteram berkumpul dimuka kantor gubernur dengan membawa poster2 dan bendera2 merah-putih”.

Berdasarkan beberapa tokoh yang menanggapi peristiwa 17 Oktober 1952, yang salah satunya menurut Soekarno bahwa peristiwa tersebut merupakan upaya setengah kudeta.

 

Apa benar peristiwa 17 Oktober 1952 adalah Kudeta Militer?

Berdasarkan kajian mengenai kudeta militer bahwa terdapat beberapa jenis yang memiliki ciri dan karakteristik tersendiri ketika sebuah peristiwa dikategorikan dalam kudeta atau perebutan kekuasaan dan militer tentunya memiliki peranan yang cukup besar di dalamnya. Kudeta seakan identik dengan kekuatan militer. Situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan atau mengancam untuk merebut kekuasaan.

Dari berbagai pendapat beberapa tokoh mengenai peristiwa 17 Oktober 1952, dapat dianalisis bahwa sikap militer dalam peristiwa tersebut termasuk ke dalam kelompok Pretorian Moderator.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nordlinger (1990, hlm. 35) bahwa tentara Pretorian Moderator memiliki ciri dengan tidak menguasai pemerintahan secara menyeluruh, tetapi mengawasi pemerintahan sipil dengan tidak serta merta menerima supremasi penuh dari pihak sipil. Ciri lain dari Pretorian Moderator tersebut yaitu dengan bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terllibat dalam politik, terkadang juga mengancam pemerintah untuk kudeta dan menggantinya dengan pemerintahan sipil lain yang sejalan dan dapat diterima oleh militer. Tentara Pretorian Moderator ini menghindari diri untuk menguasai pemerintahan. Mereka mempertahankan status quo, menjaga keseimbangan kelompok yang sedang bersaing, dan menjaga stabilitas pemerintahan. Dalam menjalankan misinya, tentara protarian moderator ini bertindak sebagai penekan, namun secara tidak langsung mengarahkan pemerintah sipil atas dasar kemauannya.

Ciri-ciri tersebut memiliki kesamaan dengan peristiwa 17 Oktober dimana aksi tentara yang mengepung istana dengan menempatkan tank dan persenjataan yang lainnya ke depan istana dengan tujuan mengancam pemerintahan sipil supaya dapat dikendalikan sesuai keinginannya. Hal tersebut disebabkan oleh anggapan pihak militer yang merasa pemerintahan sipil terlalu ikut campur akan urusan internal Angkatan Darat. Karena hal tersebut, pihak militer menginginkan untuk dibubarkannya parlemen.

Tentara Pretorian Moderator tersebut cenderung menghindari untuk menguasai pemerintahan secara langsung. Dan hal tersebut sesuai dengan yang terjadi pada peristiwa 17 Oktober, bahwa kekuatan militer yang dipamerkan di depan istana namun sama sekali tidak digiunakan untuk melakukan serangan. Dan aksi tersebut hanya berjalan sebentar hingga massa membubarkan diri. Dalam artian mereka hanya mengancam dan tidak berniat untuk melakukan kudeta sebagaimana yang telah A.H. Nasution jelaskan di atas.

Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, untuk menjaga keamanan maka diterapkan kebijakan keamanan di sepanjang jalanan dan jam malam. Diikuti dengan pemutusan seluruh hubungan telepon. Diketahui ada penangkapan 6 anggota parlemen dan pembredelan beberapa surat kabar, kemudian diberlakukan aturan larangan bersidang atau mengadakan rapat lebih dari 5 orang (Soebagijo, dkk. 1979, hlm. 132).

Kemudian berbagai reaksi bermunculan setelah peristiwa 17 Oktober tersebut, kemudian terdapat golongan yang pro dan golongan yang kontra di dalam masyarakat umum, termasuk di dalam tubuh Angkatan Darat. Sehingga hal tersebut memicu perpecahan di dalam TNI AD yang meluas sampai ke divisi-divisi di beberapa daerah. Di beberapa komando Tentara dan Teritorial timbul reaksi berupa pengambil alihan pimpinan, yaitu di Sumatera bagian Selatan, Jawa Timur, dan Sulawesi. Kemudian di pimpinan pusat, Jenderal A.H. Nasution dicopot dan digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng (Soebijono, dkk. 1993, hlm. 21-22).

Muculnya Peristiwa 17 Oktober 1952 mencerminkan buruknya hubungan sipil dan militer yang disebabkan oleh adanya sikap saling curiga satu sama lain yang dianggap saling melakukan intervensi, menimbulkan tidak adanya rasa percaya diantara keduanya. Hal tersebut dapat dipahami bahwasanya persoalan internal militer tidak dapat diselesaikan di ruang internal militer, akan tetapi persoalan tersebut semakin meluas di muka publik seperti halnya masuk ke dalam sidang pleno parlemen. Sehingga hal tersebut menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan.

Selain itu, tingkat kepercayaan militer terhadap parlemen sangat kecil karena mereka menganggap perwakilan rakyat yang berada di parlemen bukan atas kehendak rakyat, dalam artian bukan hasil dari pemilihan umum. Maka tidak mengherankan dalam aksi tersebut muncul slogan “bubarkan parlemen” dan “segera melaksanakan pemilu”. Faktor-faktor tersebut merupakan sikap saling menginginkan perubahan diantara dua instansi tersebut yang sama-sama mereka tidak inginkan adanya desakan tersebut.

Sudah sewajarnya Indonesia belajar dari peristiwa 17 Oktober 1952 untuk mencapai integrasi organisasi alat negara yang memiliki keharmonisan dan kolaborasi yang baik, sehingga cita-cita untuk menciptakan keamanan negara dapat terjamin dengan baik. Maka dari itu perlu untuk melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi untuk mengurangi kegaduhan dan saling curiga diantara pihak yang berselisih. 

Dalam membangun sebuah negara yang baik, perlu adanya hubungan yang baik pula antar alat organisasi negara. Misalnya hubungan antara pemerintahan sipil dengan pimpinan militer. Karena dengan demikian, negara mampu mengatur organisasi alat negara sesuai peranannya masing-masing.

Setiap negara memiliki hubungan antara pemerintahan sipil dengan militer yang berbeda. Seperti halnya di Inggris dan di Amerika Serikat memiliki hubungan sipil–militer yang lebih menonjolkan supremasi sipil dengan menempatkan militer bertanggung jawab hanya dalam urusan pertahanan. Hal ini berakibat pada kedudukan militer yang subordinat terhadap kekuasaan sipil.

Kedudukan ini merupakan penempatan posisi yang ideal dan sebaiknya menjadi model bagi penataan relasi sipil–militer yang demokratis di berbagai negara.

Berbeda halnya dengan relasi sipil–militer di dunia Arab. Setelah masa 1970-an peran militer dalam kehidupan bernegara semakin berkurang. Namun meskipun demikian, kecenderungan yang ada telah memunculkan rezim otoritarian yang menempatkan relasi sipil–militer di dunia Arab cenderung masih jauh dari kondisi demokratis. Kondisi tersebut secara otomatis memangkas demokrasi sebagai mekanisme menuju kekuasaan yang sah (Kardi, 2014, hlm. 242).


Referensi

  1. Compton, B.R. 1992. "Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia." Jakarta: LP3ES.
  2. Hamid, A. dan Madjid, M.S. 2011. "Pengantar Ilmu Sejarah." Yogyakarta: Ombak.
  3. Kardi, K. 2014. "Demokratisasi Relasi Sipil-Militer pada Era Reformasi di Indonesia." Jurnal Sosiologi. 19, (2). 231-256.
  4. "Kudeta 17 Oktober 1952 : Awal Konspirasi Militer dan Terpecahnya Pertahanan Negara". 2017. idsejarah.net Diakses 26 November 2021.
  5. Lubis, Z. 2012. "Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD." Jakarta: Kompas.
  6. Maulana, Aldi dan Ayi Budi Santosa. 2019. "Peristiwa 17 Oktober 1952: Tentara Pretorian Moderator dengan Gerakan Anti-Parlemen Pada Masa Kabinet Wilopo". Jurnal Factum Vol 8, No 1 (2019) ejournal upi.edu [pdf] Diakses 26 November 2021.
  7. Nasution, A.H. 2013. "Peristiwa 17 Oktober 1952: Ketika 'moncong' Meriam Mengarah ke Istana Merdeka." Yogyakarta: Narasi.
  8. Nordlinger, E.A. 1990. "Militer dan Politik: Kudeta dan Pemerintahan." Jakarta: Rineka Cipta.
  9. Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. 2010. "Sejarah Nasional Indonesia VI: Edisi Pemutakhiran." Jakarta: Balai Pustaka.
  10. Redaksi. (1952, 17 Oktober). “Krisis Kabinet Mengantjam?”. Haluan Umum Nasional, hlm. 1.
  11. Redaksi. (1952, 20 Oktober). “Djuga di Semarang Diadakan Demonstrasi”. Merdeka, hlm. 2.
  12. Soebagijo, dkk. 1979. "Wilopo 70 Tahun." Jakarta: Gunung Agung. 
  13. Sjamsuddin, H. 2012. "Metodologi Sejarah." Yogyakarta: Ombak.
  14. Simanjutak, P. N. H. 2013. "Kabinet-kabinet Indonesia dari Awal Kemerdekaan sampai Reformasi." Jakarta: Djambatan.
  15. Soebijono, dkk. 1993. "Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia." Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  16. Wardaya, Baskara T., dkk. 2007. " Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia." Cetakan Pertama. ISBN: 979-8981-38-6 Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ). scribd.com Diakses 26 November 2021.
  17. Wilopo. (1952, 18 Oktober). “Tidak Ada Krisis Kabinet”. Merdeka, hlm. 1.
  18. Wilson. 2015. "Soekarno, Komunisme, dan Fasis ORBA." Malang: Intrans Publishing.
Baca Juga