Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Kisah Tanah Jawa: Aji Saka, Medang Kamulan dan Sumedhang

Jagadbuwana - Pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl: 77; Raffles, 1978: 212).

Di lain pihak cerita Aji Saka merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita "lambang" bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa.  

Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam: Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam :

a.   J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).

Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, "Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa". Aji Saka gumujeng amangsuli, "Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula".


b.    Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27)

Jangaran jaman Kala Dwapara ... Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka ... Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.


c.   Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.

Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar …


d.   RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.

Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.

Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga.

Secara geografis, sekarang wilayah Kabupaten Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur.

Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panji Panuluh. Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan. Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.

Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis.

Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki "dimakan" oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dan lain-lain. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram!

 

Dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu ?

Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti "ibu kota". Buktinya :

Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : "rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu". (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar-pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.
 

Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya "ri Mendhang ri Bhumi Mataram", artinya "di Medhang di Bumi Mataram". Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula "Medhang i Bumi Mat i Watu" yang artinya "Ibukota di Bhumi Mat i Watu" (Caspaaris, I, 1950 : hal. 39-42).

Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai "kuthagara"nya di Mataram.

Sedang Kamulan berasal dari kata dasar "mula" mendapatkan awalan "ka" dan akhiran "an", membentuk kata benda. Arti "mula" adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang "mula" tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950).

Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali "Sang Hyang Dharma Kamulan", yang artinya "Mula Sang Hyang Dharma" Maksudnya adalah "pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat pemakaman nenek moyang". Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO 38) "apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia pangawan" yang artinya "sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan". Jadi disini kata "mula" berhubungan dengan "gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.

Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842) mendirikan "Kamulan" di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci Borobudur. Di sini arti "Kamulan" adalah makam nenek moyang dan tempat pemujaan.

Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan dengan kata "mula" di sini adalah "asal, cikal bakal, awal atau permulaan kejadian." Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula pertama atau asal kejadian.

Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro,  dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya.

Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut :

    Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957: 40). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III, 1922).
     Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).
     Pendapat purbacarka dalam bukunya "Enkele Oud platsnamen" dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang

Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.

Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah :

"Purwa" berarti "permulaan" (Jawa: kawitan). "Dadi" artinya "jadi" (Jawa : Dumadi). Yang mula-mula jadi, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan dengan cerita Aji Saka dengan Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan kehidupaan manusia "Manunggaling Kawula Gusti", dari sejak asal mula manusia di dunia ini.
 

Bila kita tinjau letak geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut mudah mencari air, padahal setiap makhluk membutuhkan air. Daerah ini memanfaatkan air sungai Lusi dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas, pengairan kebutuhan hidup sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari laut, bahkan mungkin terletak di tepi pantai Laut Jawa.
 

Di dalam Primbon Jayabaya (hal.27) dikatakan bahwa Aji Saka naik takhta di negara Sumedang Purwacarita. Perkataan "Sumedhang" di sini bukanlah kota Sumedang di Jawa Barat sekarang, tetapi "Su" berati Baik, jadi dimaksudkan kota Medhang yang sangat baik. Jadi Sumedang Purwacarita artinya ibukota Medhang yang sangat baik bagi (negara) Purwacarita. Purwa berarti permulaan; carita berarti cerita, kejadian, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Dengan demikian Sumedhang Purwacarita identik dengan Medhang (Mendhang) Kamulan yang lahir di Mataram (negeri ibu, ibu pertiwi) yang pertama kali.
 

Baca Juga