Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Uga Prabu Siliwangi soal Kaum yang Gemar Menyesatkan

Jagadbuwana - Mengamati gejolak politik, tepatnya gejolak masyarakat Indonesia yang seakan lupa jati diri, lupa tujuan berbangsa dan menafikan kebhinekaan Nusantara. Kondisi ini mengingatkan penulis pada "Prediksi Prabu Siliwangi soal Kaum yang Gemar Menyesatkan" yang tercantum dalam Pantun Bogor (PB).
Rawayan arinyana baris boga karep sakabeh anu disarebut jelema di iyeu jagat mudu ngan nyembah hiji sesembahan dina hiji sesebutan basa hiji bangsa bae. Padahal, eta panyembahan teh saenyana mah panyembahan sakabehan ti babaheula dina sesebutan sewang-sewang basa sorangan panyembahan mah eta keneh eta bae anu ngan beda wungkul sesebutan lantaran beda bangsa nu boga basa Tapi dasar anu eukeur karareder dina pikir nya arembung disina ngarti tapi rasa arinya bae pangbenerna…

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Anak keturunan mereka akan punya keinginan semua yang disebut manusia di jagat ini harus hanya menyembah satu sesembahan dalam sebutan bahasa satu bangsa saja. Padahal, penyembahan tersebut sesungguhnya sesembahan semua orang dari dulu kala dalam sebutan bahasa sendiri-sendiri yang disembah tetap itu-itu juga hanya beda cara menyebutnya saja karena berbeda bangsa yang memiliki bahasa Tapi dasar pikirannya sedang kacau tidak mau mengerti merasa diri sendiri yang paling benar

Petikan naskah Pantun Bogor episode “Ronggeng Tujuh Kalasirna”, dikutip dari buku Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara, karya E. Rokajat Asura, Penerbit Imania, 2016.


Prabu Suryakancana alias Prabu Siliwangi memprediksi tentang suatu masa akan muncul segolongan orang yang ‘mengambil’ tupoksi Tuhan, menilai dan memvonis orang salah dan benar, mengklaim kelompok mereka sebagai kelompok yang sah masuk surga. Menurut ramalan tersebut ketika Nusantara tengah mengalami fase ini pertanda kita sudah masuk ke masa kritis dan akan muncul Ratu Adil?

Kekacauan, keributan, dan ‘hilangnya kewarasan’ bermula dari sedapur sampai akhirnya senegara, orang bodoh akan gila, munculnya Budak Buncireung. Tokoh yang berperan dalam kekacauan ini tampaknya sosok yang disebut Budak Buncireung. Dalam Kamus Umum Basa Sunda, kata “buncireung” berarti perut gendut dan buncit akibat terlalu banyak makan.

Sosok inilah yang menyembunyikan kera merah ke atas beringin. Bila kera menggambarkan sosok yang serakah, apakah warna merah menggambarkan ras atau simbol dari kemarahan? Kita bisa menelisik siapa yang disembunyikan Budak Buncireung ke pohon beringin itu. Tentu bukan untuk menyelamatkan kera merah, tapi disusupkan ke sumber kekuasaan.

Tentang sosok Budak Buncireung ini, Tim Sawala Kandaga Kalang Sunda (SKKS) menduga bila ia menyusup ke dalam kekuasaan. Hipotesis ini mungkin ada benarnya, sehingga konflik horisontal jadi mudah tersulut. Budak Buncireung melaksanakan tugasnya menjadi provokator, memecah belah persatuan, menggugat-gugat kebhinekaan dan mengadu domba antar anak bangsa.

Kelanjutan naskah Wangsit Siliwangi yang bersumber dari Jagatsatu 6 ini dengan jelas menggambarkan hipotesis di atas melalui ungkapan “hiruk-pikuk kemudian menjadi berkelahi, diprovokasi kera merah, yang meniru-niru kera  hitam, lidah menghitam, penglihatan menghitam, tapi hati dan keinginan tetap merah. Keinginan untuk memerahkan dunia ini”.

Kondisi keributan ini berubah menjadi chaos. Beda sesembahan, beda aliran, beda mazhab pun bisa menyebabkan perkelahian. Apa ini sudah masanya?


Dikutip dari nu.or.id

Baca Juga